Krisis kualitas
pendidikan yang terjadi di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini
dibuktikan dengan data dan survei United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO) tentang kualitas pendidikan yang ada di
negara-negara berkembang Asia Pasifik, dimana Indonesia menempati peringkat 10
dari 14 negara. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC)
tentang kualitas pendidikan di Asia, Indonesia menempati peringkat 12 dari 12
negara yang diteliti, dimana pada peringkat ini Indonesia masih di bawah
Vietnam. Survei-survei tersebut diperkuat dengan data Balitbang (2003) yang
menyebutkan bahwa dari 146.052 SD di Indonesia, hanya terdapat delapan SD yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP),
kemudian dari 20.918 SMP di Indonesia juga hanya delapan SMP yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA di Indonesia, hanya tujuh SMA yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori
The Diploma Program (DP).
Penyebab utama krisis kualitas
pendidikan yang ada di Indonesia terletak pada sistem yang digunakan para
penyusun kebijakan pendidikan. Para penyusun kebijakan ini terkadang melakukan
perencanaan tanpa melihat kondisi peserta didik. Berdasarkan fakta saat ini,
kebijakan pendidikan mengharuskan peserta didik menguasai hampir seluruh bidang
ilmu pengetahuan dengan tujuan agar kualitas bangsa Indonesia membaik di masa
depan. Namun, hal ini justru memunculkan berbagai masalah baru dunia pendidikan
akhir-akhir ini. Sebagian besar peserta didik merasa kurang maksimal jika
dituntut mampu menguasai semua bidang dan ini akan menjadi beban yang akan
menghambat meningkatnya prestasi bangsa. Hal ini dibuktikan Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada pada
peringkat 35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan pada peringkat 37
dari 44 negara dalam hal prestasi sains.
Selain tuntutan
penguasaan ilmu pendidikan yang tinggi, Indonesia menerapkan sistem yang kurang
efektif dalam pendidikannya. Sistem yang digunakan saat ini adalah sistem top-down (dari atas ke bawah) atau jika
menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin)
adalah gaya bank. Sistem ini menganggap peserta didik mengetahui apapun, guru
sebagai pemberi yang mengarahkan peserta didik untuk menghafal isi pelajaran
yang diberikan. Guru sebagai pengisi dan peserta didik adalah yang diisi. Otak
dari peserta didik dianggap sebagai safe
deposit box, dimana pengetahuan guru ditransfer ke otak peserta didik dan
bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut hanya diambil saja. Sistem
demikian menghasilkan peserta didik yang hanya memenuhi tuntutan zaman saja
tetapi tidak mampu kritis terhadap problematika pada zaman. Padahal sikap
kritis bangsa saat ini sangat dibutuhkan sehingga dapat menciptakan
inovasi-inovasi yang berguna untuk memajukan negaranya. Meskipun saat ini
pemerintah telah menganjurkan guru memberikan rangsangan keaktifan kepada
peserta didik tetapi pada kenyataannya hal ini masih menemui beberapa kendala yang
membuatnya tidak dapat diterapkan secara maksimal.
Rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan kualitas dan
kesejahteraan guru sebagai subjek pendidikan. Kualitas guru baik dari segi
pendidikan yang telah ditempuh, pengetahuan umum, metode pembelajaran dan
caranya menyampaikan kritik atas realita saat ini di Indonesia sangat
mempengaruhi cara berpikir dan proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
Demikian pula mengenai kesejahteraan guru, termasuk gaji yang diterima,
tunjangan dan jaminan pensiun merupakan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi
kinerja guru. Oleh karena itu, saat ini pemerintah sudah mengambil
tindakan-tindakan dalam menyikapi hal tersebut. Misalnya dalam rangka perbaikan
kualitas guru, pemerintah memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan pada
tingkat yang lebih tinggi kepada guru dan memberikan subsidi terhadap hal
tersebut. Selain itu, dalam hal kesejahteraan, saat ini pemerintah telah
mengalokasikan dana sebagai tunjangan hidup bagi para pendidik terutama yang
berikatan dinas atau pegawai negeri sipil. Dengan perbaikan-perbaikan tersebut
diharapkan guru dapat memaksimalkan kinerjanya dan dapat memberikan yang
terbaik untuk anak bangsa.
Masyarakat khususnya
peserta didik sebagai obyek pendidikan hanya dapat menerima program-program
yang menjadi kebijakan pemerintah khususnya pembuat kebijakan sebagai subjek
pendidikan. Peserta didik tidak dapat melawan apa yang sudah ditetapkan
pemerintah. Oleh karena itu, seharusnya program-program pemerintah benar-benar
melalui pemikiran matang orang-orang yang ahli dalam bidangnya sehingga
menghasilkan kebijakan yang tepat untuk diterapkan pada bangsa. Proses
perumusan setiap kebijakan sebisa mungkin meminimalkan pengaruh eksternal dan
tetap berfokus pada apa yang harus dikaji dalam dunia pendidikan. Faktor
eksternal yang sering terjadi adalah faktor politik karena memang saat ini
apapun yang dilakukan pemerintah tidak akan bisa terlepas dari pengaruh politik
negara.
Fenomena-fenomena
masalah pendidikan saat ini telah menggambarkan bagaimana kondisi pendidikan
Indonesia. Berkaitan dengan rendahnya kualitas peserta didik Indonesia
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah dari segi sistem pendidikan
yang ditetapkan pemerintah, permasalahan pada kualitas dan kinerja guru sebagai
satu-satunya pemberi pengetahuan pada peserta didik dan masalah politik yang
sangat berpengaruh terhadap perencanaan maupun penetapan kebijakan pendidikan
Indonesia. Pemerintah sebagai satu-satunya agen pembuat kebijakan pendidikan
harus berkinerja sebaik mungkin dan menghasilkan kebijakan yang tepat untuk
masyarakat sehingga mencetak generasi yang unggul, kritis, dan siap menghadapi
segala problematika di masa depan. Kebijakan-kebijakan yang sudah ada saat ini
hanya memerlukan perbaikan yang lebih terarah dan tidak perlu mengubah
keseluruhan sistem yang ada sebagai upaya tercapainya peserta didik yang
intelektual dan bangsa yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar