Association of South
East Asian Nations (ASEAN) merupakan suatu perhimpunan bangsa kawasan Asia
Tenggara yang beranggotakan sepuluh negara. Diantaranya adalah Indonesia,
Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos,
Myanmar dan Kamboja. Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN memiliki tujuan
kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknis, pendidikan dan bidang
lainnya. Melalui ASEAN, para pemimpin negara-negara di Asia Tenggara bersepakat
membentuk ASEAN community atau komunitas
ASEAN yang dimulai dengan pembentukan ASEAN
Economic Community (AEC) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) untuk mewujudkan negara yang stabil, makmur dengan
perkembangan ekonomi yang adil, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial
ekonomi pada tahun 2020 yang disebut ASEAN
Vision 2020. (Wahyuningsih, 2014) Hal ini sesuai dengan salah satu dari tiga
pilar dalam landasan komunitas ASEAN. Namun, setelah adanya KTT ASEAN ke-12
pada tahun 2007 para pemimpin ASEAN kembali menyepakati percepatan pelaksanaan komunitas
ASEAN ini pada tahun 2015.
Diberlakukannya
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam komunitas ASEAN sangat berdampak pada
ekonomi negara-negara yang terkait, khususnya Indonesia karena MEA akan
menimbulkan adanya perdagangan dan aliran modal yang lebih bebas antar
negara-negara di Asia Tenggara sehingga tercapai pasar dengan basis produksi
tunggal, kawasan ekonomi kompetitif dan pembangunan ekonomi yang merata. Dengan
diterapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), setiap negara dituntut menujukkan
kualitas sumber daya manusianya, dimana hal tersebut yang akan menentukan
posisi suatu negara dalam persaingan MEA nantinya. Negara dengan sumber daya
manusia yang unggul akan menjadi negara kompetitif dan memiliki kesempatan
memimpin persaingan dalam MEA, sedangkan negara yang kualitas sumber daya yang
rendah hanya akan menjadi penonton atau pasar yang pasif dalam persaingan MEA
ini. Sumber daya manusia disini lebih ditujukan kepada para pemuda sebagai
generasi yang harus dapat menjawab tantangan dalam persaingan MEA dan
menjadikan negaranya berada pada posisi yang diuntungkan, bukan menguntungkan.
Indonesia adalah salah
satu negara yang memiliki sumber daya melimpah, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya alamnya. Indonesia yang memiliki jumlah penduduk sekitar 250 juta
jiwa menguasai hampir setengah dari seluruh penduduk dari berbagai negara yang
tergabung dalam ASEAN, yaitu sekitar 600 juta jiwa. Hal ini membuktikan peran
Indonesia yang sangat besar dalam menyumbang pasar ekonomi ASEAN. (Dirga Utama
Mahardika, 2015) Namun, fakta yang ada di Indonesia dengan sumber daya melimpah
tersebut tidak diiringi dengan kualitas yang unggul. Inilah yang menjadi
masalah serius ketika Indonesia dihadapkan pada tantangan dalam merebutkan
posisi yang diuntungkan dalam persaingan MEA.
Seperti yang telah
disinggung di atas bahwa salah satu jawaban atas masalah dalam menghadapi
tantangan persaingan MEA adalah dengan adanya peran pemuda. Dikatakan pemuda
ialah mereka yang berusia 18 hingga 35 tahun, dimana pada usia ini seseorang
sedang mengalami perkembangan biologis maupun psikologis. Oleh karenanya,
pemuda selalu memiliki aspirasi yang berbeda jika dibandingkan dengan aspirasi
masyarakat umum sehingga menumbuhkan semangat-semangat pembaharu melalui
inovasi dan kreativitasnya. (Wahyuningsih, 2014) Untuk itu, pemuda dengan
karakter progresifnya dalam melihat MEA 2015 bukan lagi sebagai ancaman
melainkan berpandangan optimis dan visioners
sebagai sebuah peluang dan kesempatan dalam memajukan ekonomi bangsa.
Sebagai tulang punggung
perekonomian yang memiliki tanggung jawab demi memajukan bangsa, pemuda mengisi
peranannya dalam mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa. Untuk mencapai
cita-cita tersebut, pemuda harus mulai meningkatkan produktivitas dan
kualitasnya. Selama ini masyarakat banyak yang lebih tertarik pada produk luar
negeri daripada dalam negeri, oleh karena itu kemandirian ekonomi bangsa akan
terwujud apabila pemudanya mampu menciptakan konsep kreativitas dan daya saing
guna memenuhi kebutuhan bangsanya sendiri. Selanjutnya pemuda harus membiasakan
dirinya untuk menjadi something maker
yang selalu muncul dengan pembaharuan kreativitasnya. Hal ini dikarenakan
adanya fakta bahwa produk barang dan jasa Indonesia belum bisa menguasai pasar
dunia meskipun Indonesia telah memiliki sumber daya melimpah. Oleh karena itu,
pemuda yang kreatif, inovatif, kompetitif dan mandiri sangat dibutuhkan
Indonesia dalam menghadapi MEA 2015.
Seorang pemuda yang
berkualitas harus memiliki softskill
dan hardskill yang tinggi. Dua
komponen ini tidak bisa dipisahkan karena kesuksesan seseorang tidak hanya dari
pengetahuan dan kemampuan teknis saja (hardskill),
tetapi juga kemampuan mengelola diri sendiri dan orang lain (softskill). Hardskill yaitu penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan
keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang keilmuan yang dipelajari.
Sedangkan softskill merupakan
keterampilan seseorang yang berhubungan dengan orang lain (inter-personal skill) dan keterampilan dalam mengatur dirinya
sendiri (intra-personal skill). Inter-personal skill diantaranya adalah
kemampuan dalam berkomunikasi, membangun hubungan baik, kemampuan memotivasi,
kemampuan kepemimpinan, kemampuan memasarkan diri sendiri, kemampuan
bernegosiasi dan kemampuan presentasi. Sedangkan intra-personal skill diantaranya adalah membangun karakter, membentuk
kepercayaan atau keyakinan, melaksanakan dan mengatur perubahan, mengatur
tingkat stres pada diri sendiri, melaksanakan dan mengatur waktu, proses
berpikir kreatif, menentukan tujuan hidup, dan teknik percepatan belajar.
(Wahyuningsih, 2014)
Sudah saatnya pemuda
Indonesia harus mampu berpikir global namun bertindak berdasarkan kearifan
lokal atau think globally and act locally
serta mengubah mindset dari nasional
menuju internasional. (Hokenstad dan Midgley, 1997) Kearifan lokal disini harus
tetap melekat pada jiwa pemuda karena pemuda harus menunjukkan identitas bangsa
melalui kebudayaan Indonesia. Tanpa adanya bingkai nilai sosial-budaya yang
sehat dan kuat, keinginan menjadikan bangsa memiliki keberlanjutan adalah
impian seorang paranonia. (Bartelmus,
1999) Pemuda diharapkan menjadi economic
agent change, yaitu agen perubahan bidang ekonomi ke arah yang lebih baik,
serta dapat menjadi solusi bangsa bukan memberi masalah untuk bangsa. Oleh
karenanya, Indonesia dengan peran pemudanya benar-benar siap dan menjadi leader, bukan penonton dalam menghadapi
persaingan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Bartelmus,
P. 1999. Sustainable Development:
Paradigm or Paranoia?. Wupertal Institute fur Klima, Umwet. Available
at : http://www.wupperist.org?Publicationen/WP/WP93.pdf
[13 November 2015
Hokenstad
M.C. dan James Midgley. 1997. Realities
of Global Interdependence: Challenges for Social Workers in a New Century.
Washington D.C.: NASW Press.
Juliyanti,
Wiwin. Pemuda dan Eksistensinya dalam
Pembangunan Perekonomian Bangsa.
13 November 2015. Available at : http://tugasdanbelajar.blogspot.co.id/2012/08/essay.html
Mahendra,
Dewa. Peran Pemuda dalam 3 Pilar
Pembangunan Bangsa. 13 November 2015.
Available
at : http://dewamahendra.blog.ugm.ac.id/2011/12/29/peran-pemuda-dalam-3-pilar-pembangunan-bangsa/
Mahardika, Dirga Utama. Penguatan Peran Pemuda dalam Menghadapi Masyarakat ASEAN 2015 dan Post
MDGs. 13 November 2015. Available
at : http://www.kompasiana.com/dirga_mahardika/penguatan-peran-pemuda-dalam-menghadapi-masyarakat-asean-2015-dan-post-mdgs_555465c16523bd98144aef3f
Wahyuningsih.
Peran Pemuda Indonesia dalam Menghadapi
ASEAN Economic Community (AEC) atau Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA). 13 November 2015. Available
at : http://lsp.fkip.uns.ac.id/peran-pemuda-indonesia-dalam-menghadapi-asean-economic-community-aec-atau-masyarakat-ekonomi-asean-mea-wahyuningsih-2014/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar